Bargains & Blunders: Market Misunderstanding
FluentFiction - Indonesian
Bargains & Blunders: Market Misunderstanding
Di sebuah pasar tradisional yang ramai dan penuh dengan suara tawar-menawar, sibuklah Dewi yang hari itu tengah mencari sayur-sayuran segar untuk masakan makan malam.
In a bustling traditional market filled with sounds of bargaining, Dewi was busy looking for fresh vegetables for dinner.
Matahari bersinar terik, dan aroma rempah-rempah bercampur dengan harum durian yang menyengat.
The sun was shining brightly, and the aroma of spices mixed with the pungent smell of durian.
Dewi, yang selalu berbelanja dengan teliti, perhatiannya tertuju pada sebuah lapak yang tampak berbeda.
Dewi, who always shopped carefully, noticed a stall that looked different.
Di lapak itu, Budi, seorang pemuda berbaju kotak-kotak, tengah sibuk mengatur barang-barang yang sedikit berantakan karena banyaknya pembeli yang datang dan pergi.
At that stall, Budi, a young man in a checkered shirt, was busy arranging items that were a bit messy due to the many customers coming and going.
Karena terlalu fokus mencari daun bawang dan tomat yang terlihat segar, Dewi tidak sadar bahwa Budi sebenarnya bukanlah penjual sayur.
Because she was too focused on finding fresh green onions and tomatoes, Dewi didn't realize that Budi wasn't actually a vegetable seller.
Dengan yakinnya Dewi mendekati Budi dan tanpa basa-basi langsung berkata, "Daun bawangnya berapa per ikat, Mas?
Confidently, Dewi approached Budi and without hesitation said, "How much for a bunch of green onions, Sir?"
"Budi terkejut, lalu tersenyum lebar.
Budi was surprised, then smiled broadly.
"Oh, Mbak, saya bukan pedagang di sini," jawabnya dengan ramah.
"Oh, Miss, I'm not a seller here," he replied politely.
Tetapi Dewi, yang sudah biasa menawar, tidak langsung percaya.
But Dewi, who was used to bargaining, didn't immediately believe him.
"Ayo Mas, jangan malu-malu untuk memberi harga.
"Come on, Sir, don't be shy to give a price.
Saya tahu di pasar ini semua bisa ditawar.
I know everything can be negotiated in this market."
"Budi kembali tersenyum sembari mencoba menjelaskan bahwa ia hanya menunggu temannya yang sedang ke toilet, bukan pedagang sayur yang sebenarnya.
Budi smiled again as he tried to explain that he was just waiting for his friend who was using the restroom, not a real vegetable seller.
Namun Dewi, dengan semangat menawar yang tinggi, mengira bahwa ini adalah taktik Budi untuk menjual sayuran dengan harga yang lebih tinggi.
However, Dewi, with high bargaining spirit, thought that this was Budi's tactic to sell vegetables at a higher price.
"Ayo Mas, jangan begitu.
"Come on, Sir, don't be like that.
Saya serius nih mau beli.
I'm serious about buying.
Tomatnya saya ambil tiga kilo, daun bawang dua ikat, dan oh iya, terongnya juga tampak bagus.
I'll take three kilos of tomatoes, two bunches of green onions, and oh, the eggplants also look good.
Semua berikan harga teman ya, Mas," seru Dewi, masih yakin bahwa Budi akan memberikan harga.
Please give me a friendly price for everything," Dewi exclaimed, still confident that Budi would give a price.
Akhirnya, dengan penuh kesabaran, Budi berkata, "Mbak Dewi, saya akan menunjukkan sesuatu.
Finally, with great patience, Budi said, "Miss Dewi, I will show you something."
" Dia memimpin Dewi ke lapak sayur yang sebenarnya, di beberapa meter dari tempat mereka berdiri.
He led Dewi to the actual vegetable stall, a few meters from where they were standing.
Di sana, seorang penjual sayur yang sejati sedang tersenyum melihat kebingungan ini.
There, a real vegetable seller was smiling while watching this confusion.
"Mbak, ini penjual sayurannya.
"Miss, this is the vegetable seller.
Saya hanya orang biasa yang kebetulan berdiri dekat lapak sayur," jelas Budi dengan lembut.
I'm just a regular person who happened to be standing near the vegetable stall," Budi explained gently.
Muka Dewi langsung merah padam, menyadari kesalahpahamannya.
Dewi's face turned red, realizing her misunderstanding.
"Maaf ya, Mas.
"I'm sorry, Sir.
Saya kira Mas penjualnya," ucap Dewi dengan rasa malu yang mendalam.
I thought you were the seller," Dewi said with deep embarrassment.
Budi hanya tertawa, "Tidak apa-apa, Mbak.
Budi just laughed, "It's okay, Miss.
Ini menjadi cerita yang lucu juga untuk saya.
This also becomes a funny story for me."
"Dan di itulah, di keramaian pasar tradisional, Dewi menemukan hal lain selain sayuran segar, yaitu seorang teman baru yang bisa tertawa bersama meskipun dalam kekeliruan yang lucu.
And there, in the bustling traditional market, Dewi found something other than fresh vegetables, a new friend with whom she could laugh together even in a funny misunderstanding.
Dewi berhasil mendapatkan sayur yang dibutuhkan, dan Budi, yang bukan penjual sayur, kembali menunggu temannya dengan cerita baru yang bisa diceritakan.
Dewi managed to get the vegetables she needed, and Budi, who was not a vegetable seller, went back to waiting for his friend with a new story to tell.
Sejak hari itu, Dewi selalu teringat untuk memastikan siapa yang sebenarnya penjual sebelum mulai menawar, dan pasar tradisional itu menjadi saksi bisu akan persahabatan baru yang terjalin dari sebuah kesalahpahaman kecil.
Since that day, Dewi always remembered to make sure who the actual seller was before starting to bargain, and the traditional market became a silent witness to the new friendship forged from a small misunderstanding.